Sunday 31 October 2010

Cinta Biru


             Sedetik waktu yang ia miliki, kini tak pernah kusentuh. Walau semua apa yang ia punya menjadi milikku. Aku dan Biru. Dua remaja yang tak mungkin bersatu.
            Aku menyukainya sejak dulu. Sejak kami pertama berkenalan melalui Gina, sahabat kakakku. Saat itu sedang diadakan lomba basket di gedung olahraga Gerari. Ia saat itu memandangiku dalam waktu yang lama.
            “Kenapa?”tanyaku heran.
            Ia tersenyum dan menghampiriku. Badannya yang tinggi dan senyum menawannya ia berikan tepat kepadaku. Aku sedikit gugup saat ia mengulurkan tangannya. “Aku Biru.”katanya.
            Kujabat tangan besarnya itu. “Aku Melati.”jawabku.
            Sejak perkenalan itu kami menjadi sangat dekat. Semua curahan hatinya ia berikan padaku. Ia satu-satunya lelaki yang membuatku jatuh cinta saat pandangan pertama. Dan kami adalah pasangan yang paling serasi dimata teman-temanku.
            “Kalian itu klop banget! Kemana-mana berdua, tiap ada waktu luang pasti teleponan, ya ampuunn. Mau dong seperti kalian…”begitu ungkapan Citra, sahabatku saat kami jalan bertiga.
            “Ga ah. Kamu juga pasti bisa seperti kami kok nanti.”lanjut Biru.
            Citra hanya merengut. “Iya, aku harap juga begitu.”
            Aku, Biru, dan Citra adalah tiga insan yang sangat dekat satu sama lain. Aku juga kadang merasa iba jika melihat mata Citra yang menyimpan sebuah mimpi untuk menjadi seperti aku dan Biru. Tapi, Citra selalu mengeluh. Ia berkata bahwa tidak ada lelaki yang mau dekat dengannya.
            Ada kok Citra, percaya saja. Aku juga dulu begitu dengan Melati. Aku putus asa. Sangat-sangat putus asa karena saat itu aku baru saja diputusin oleh mantanku karena ia selingkuh. Dan aku berpikir bahwa mungkin inilah hidup. Ada saatnya kita terhempas dan ada saatnya kita mencium wanginya bunga lily. Ya kan sayang?”
            Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Lagi-lagi aku melihat kesedihan dimata Citra. Walau ia berusaha sebisa mungkin menyembunyikannya dengan senyuman terikhlasnya.
            Namun sekarang, musnah semua. Bisa kau tebak apa yang sedang kulakukan sekarang? Aku sedang duduk dipinggir jendela kamarku, merasakan dinginnya angin dan menikmati hawa hujan. Aku jadi teringat masa itu.
            Saat itu tengah malam dan terjadi hujan yang sangat lebat. Aku dan Biru sedang berbicara melalui telepon. Menunggu hari esok, hari jadian kami untuk yang ke satu bulan.
            “Hmm, Mel…”katanya.
            “Iya?”
            “Beberapa detik lagi pukul 00.01. Dan saat itulah menit pertama untuk tanggal 26 Februari. Dan sekarang kita sedang berbincang sambil menunggu menit itu tiba ditemani dengan deraian hujan dan dinginnya angin. Indah bukan? Maksudku, jangan melihat kepada hujan yang Tuhan turunkan. Tapi melihat keajaiban yang Tuhan berikan kepada aku dan kamu, sang pujaan hatiku, karena hingga menit ini kita masih bisa berbincang dan masih bisa saling mencintai…”
            Aku hanya diam. Menelan semua kata-kata indahnya. Dan kali ini aku tidak melihat kesedihan dimata Citra karena aku dan Biru sedang berbicara dengan romantisnya ditengah malam jauh dari tatapan matanya.
            “Opps. Sepuluh detik menuju esok.”kataku.
            Kudengar hembusan nafasnya. Dan perlahan dengan lembut ia berkata, “Melati, aku sungguh sungguh mencintaimu dan aku tidak akan pernah melepasmu. Jangan pernah lupakan aku jika nanti Tuhan berkehendak lain ya sayang…. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku, semua yang aku punya termasuk jiwa dan raga kuberikan seutuhnya hanya untukmu.”
            Aku tersenyum lega. Menit pertama tanggal 26 Februari itu juga, kuyakinkan diriku bahwa Biru adalah lelaki yang tepat untuk kuposisikan di nadi dan detak jantungku.

            Ya. Kami memang saling mencintai. Saling menyayangi, dan saling mengerti. Genggaman tangannya, semua kata-kata indahnya, tatapan matanya menghipnotisku untuk tidak berada jauh darinya sedetikpun. Namun sekarang? Harus kutepis mentah mentah kenyataan yang terjadi dulu kala itu.
            Aku masih duduk diam. Menghirup semua hembusan angin dan menangkap apa yang hujan ingin katakan padaku.
            Pikiranku kacau. Aku menerawang kemana-mana. Kucoba untuk melupakan Biru semampuku. Semampuku. Semua janji manisnya, semua yang ia katakan, semua yang ia berikan, ku kembalikan. Karena ia bukan milikku sekarang.
            Otakku memaksaku untuk melihat kejadian kemarin. Disaat aku berjalan sendiri menuju taman kota. Bisa kau tebak apa yang kulihat? Ya. Kulihat Biru berjalan berdampingan dengan seseorang yang kukenal cukup lama.
            Biru menatapku saat itu. Aku berhenti berjalan. Birupun begitu. Namun berbeda dengan wanita yang berada disampingnya. Kulihat wanita itu menggenggam tangan Biru dengan kuat. Entah mengapa tapi kurasa ia dengan sengaja melakukan hal itu. Wanita itu melambai kearahku. Dan tersenyum puas. “Hai Mel…”katanya.
            Kutatap mata Biru dengan tajam. Ia menunduk. Mungkin merasa bersalah. Tapi aku bisa apa? Berteriak bahwa sebenarnya aku benci melihat mereka bersama? Mungkin seharusnya itu yang kulakukan. Tapi tidak. Aku kembali berjalan. Berjalan menuju mereka dan melambai juga. “Hai Citra…”kataku.
            Biru terlihat kaget melihat tingkahku yang tidak bisa ditebaknya. Aku berusaha mungkin berakting bahwa aku senang melihat mereka berdua. Dalam hati aku berteriak menahan sakit.
            “Sedang apa dirimu di taman?”Tanya Citra.
            “Aku? Aku hanya….”kulirik Biru. Ia masih merunduk. Aku juga tak kuat melihat matanya yang diam-diam menatapku dari bawah sana. “Aku baru saja ingin pulang. Tadi aku menemani kakakku yang sedang memotret disekitar sini.”jawabku. Kenyataannya bukan itu. Aku ke taman, menunggu kedatangan Biru hari itu. Hari dimana kami tepat delapan bulan bersama. Maaf, mungkin harus kuulangi. Hari dimana SEHARUSNYA kami delapan bulan bersama.
            Citra hanya mengangguk. “Ohh, begitu.”katanya.
            Biru masih diam tak berkutik. Aku menahan amarah. Sabar.
            “Aku harus pulang. Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.”kataku sambil tersenyum lepas.
            “Hati hati ya Mel…”
            Aku mengangguk dan melangkah pergi tanpa melihat kebelakang. Tak kusadari air mataku jatuh dengan derasnya. Akupun berlari kencang hingga tak kulihat mobil berjalan kearahku. “AAAAAA!!!!”
            Sayangnya aku selamat. Yang kudapat hanya tulang yang retak dan memori akan Biru dan Citra yang masih menempel diotakku. Sejujurnya aku ingin mati saat itu juga. Aku berharap tidak akan melihat mereka bersama lagi.
            Kudengar ketokan pintu kamarku. “Mel…”
            Tak kuhirau panggilan Kak Fani saat itu. Kakak yang menjagaku sejak ayah dan ibuku wafat hingga sekarang. Kakak yang menjadi malaikatku. Ia memasuki pintu kamarku.
            “Kamu seharusnya istirahat Mel, kamu masih sakit.”
            Aku hanya diam mengangguk dan tetap menatap hujan yang belum berhenti. Kurasakan sentuhan Kak Fani. “Ada seseorang yang ingin menemuimu…”
            “Jangan katakan bahwa orang itu adalah dirinya.”kataku.
            Kak Fani tersenyum.”Sayangnya kau benar.”
            Aku melotot. Kulihat Biru berdiri dipinggir pintu. Semua pakaiannya basah. Ia memandangiku serius. Namun kutepis pandangannya itu.”Aku tak mau diganggu.”kataku.
            Namun Kak Fani sepertinya berpura-pura tidak mendengar perkataanku. Ia hanya melenggang pergi dan tersenyum lagi. Aku kembali menatap hujan yang masih ditemani dengan sang petir dan kilat.
            “Sungguh tak pantas aku berada disini…”
            Kau pasti tahu suara itu berasal darimana. Aku hanya diam. Menahan tangis. Sungguh, aku tak sanggup melihat wajahnya. Aku masih hening.
            Ia melangkah maju. Berdiri didepanku. “Lihat aku.”katanya.
            Aku masih diam. Diam seribu bahasa. Hujan masih menemaniku.
            “LIHAT AKU!!!!”teriaknya.
            Aku tersentak kaget. Dalam hati berdoa kepada hujan, agar ia memberikan kekuatan kepadaku agar aku bisa melihat wajahnya.
            Kulihat dirinya. Kutatap mata indahnya. Ia menggeram. Seperti marah namun dicampur dengan kebingungan dan kehampaan. Aku bisa melihat itu semua dari matanya.
            “Kau tahu benar semua yang kulakukan adalah demi dirimu dan persahabatanmu dengan Citra. Aku, semampuku menahan amarah yang terpendam sejak pertengkaran kita. Aku berusaha mencintai dirinya, KARENA KAU !!!”
            Tak sadar aku berpaling dari matanya. Kembali kepada hujan. Aku masih bisa menahan tangis. Namun aku kalah dari perkataannya. Aku tak bisa malawan.
            “Kau menyakitiku. Kau memaksaku agar kita berpisah dan aku harus bisa mencintai sahabatmu. Kau memaksaku agar aku bisa melupakanmu. Kau tak tahu ? KAU MENUSUK TUBUHKU!!!!”
            “Kau tahu mengapa aku berbuat begitu.”kataku.
            “Karena penyakitnya Citra?? Karena kanker yang ia derita?? Sesakit apapun dia, kau tak bisa bayangkan lebih sakit diriku atau dirinya.”
            Aku menyerah. Air mataku keluar.
            “LIHAT AKUU !!!!”
            Aku menolak. Aku mungkin bisa tak sadarkan diri jika melihat matanya. Namun ia memaksa. Ia naik ketempat tidurku, memegang pundakku dan aku tahu, ia menatapku dengan geramnya.
            “LIHAT AKUU !!!!”
            Aku menoleh, tapi tak kulihat matanya. Suaranya serak. Biru menangis.
            “Aku mencintaimu Melati !!! Kau tahu itu !!! kenapa Mel… kenapa ??? KENAPA !”
            “Karena Citra sahabatku dan aku mencintaimu. Aku mempercayaimu sebagai orang yang bisa menjaganya.”jawabku dengan suara terisak tangis. Aku masih menunduk.
Biru melepaskan genggamannya. Ia duduk disampingku.
            “Aku, orang terbodoh yang melakukan apa yang orang kusayangi perintahkan. Aku orang terbodoh didunia karena aku mau menyayangi sahabat orang yang kucinta.”
Ia menangis lagi. Aku masih menunduk.
            “Aku tak kuat Mel… Kau harus berada diposisiku jika ingin mengerti aku. Aku sakit Mel…Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku mengatakan bahwa aku mau menemani Citra untuk tiga bulan kedepan demi kehidupan terakhirnya. Kusayangi ia Mel, namun tak bisa kupungkiri bahwa cintaku hanya satu. Diriku hanya milik dirimu, bukan miliknya…”
            Aku menangis. Kali ini lebih kuat. Saat itu baru kusadari bahwa aku orang terjahat didunia. Aku orang yang paling kejam melebihi penjaga pintu neraka. Aku menyakiti Biru, orang yang kusayang. Tapi aku tak sanggup menyakiti Citra. Citra juga mencintai Biru. Demi dia aku rela meninggalkan Biru. Tapi sejujurnya aku tak mampu…
            “Aku mencintai kau dan Citra…”kataku.
            Ia diam menatapku. Dan saat itu kuberanikan diri untuk menatapnya.
            “Untuk kehidupan terakhirnya, tolong kau jaga dia sayang…”
            Ia melotot. Aku menarik nafas. Iya Biru. Kata-katamu tak bisa membuat hatiku luluh. Aku harus bisa membiarkanmu bersama Citra…
            Ia tiba-tiba memelukku sambil menangis. “Jangan dilepas. Beri aku waktu agar aku bisa menerima kenyataan bahwa kau orang yang kusayang.”katanya.
            Kami berdua sama-sama menangis ditengah hujan. Aku mencintai Biru lebih dari apapun. Walau aku tak bisa melepasnya pergi, aku harus bisa membiarkannya bersama Citra. Karena seumur hidupku, aku belum bisa memberikan kebahagiaan terakhir buat orang yang kusayang termasuk orangtuaku.
            “Aku hanya ingin memberikan yang terbaik buat Citra. Dan kupercaya, yang terbaik buatnya adalah dirimu, sayang…”.
            Ia masih memelukku. Sambil mengelus rambutku ia berkata, “Demi dirimu. Aku coba untuk mencintainya.”
           
           

Saturday 23 October 2010

Because it just an Unappreciated thing…

Because it just an Unappreciated thing…
Tidak tahu mesti mulai darimana. Ini hanya sebuah artikel tentang kenyataan di sekolah. Kenyataan tentang hubungan antara si pendidik dengan yang dididik.
Pernahkah terlintas olehmu suatu perasaan bagaimana indahnya menjadi seorang guru? Guru. Yang dikatakan sebagai pahlawan dibidang pendidikan tentunya, kini hanya sebatas debu yang kecil di jutaan hati para muridnya.
Pernahkah terlintas olehmu suatu bayangan tentang bagaimana menjadi seorang guru? Andaikan saja anda adalah seorang guru. Tapi, sebaiknya kita mulai dari hal yang paling awal. Sebelum menjadi seorang guru, tentunya anda harus menjadi seorang murid. Dan marilah berandai bahwa anda adalah murid itu. Sejak kecil, sejak anda duduk di bangku sekolah dasar, anda melihat seorang bapak/ibu yang selalu bercerita, menjelaskan, dan memberikan sesuatu yang akan sangat berkenang dan akan sangat bermanfaat hingga sekarang ini. Anda sangat mengagumi bapak/ibu tersebut. Hingga suatu pendapat muncul dibenak anda. “Sungguh indah menjadi seorang guru.”
Sejak pemikiran tersebut, anda yang berdiri di posisi murid tersebut bercita-cita menjadi pahlawan sekolah. Sejak SD, SMP, SMA dan bangku kuliah anda menjunjung tinggi citra guru dan menghargainya seperti ibu/bapak anda sendiri. Anda berusaha keras untuk menggapai cita-cita anda tersebut.
Lalu, tibalah saat dimana anda mencapai sarjana dan mendapat gelar yang anda inginkan. Anda tidak memperdulikan betapa jungkir baliknya pengorbanan anda hanya untuk menjadi seorang guru. Merantau kesana kemari, mengemis disana-sini, berpisah dengan orang tua, berpisah dengan kekasih anda, hanya untuk mencari jalan kemana anda seharusnya pergi untuk menemukan tempat yang tepat untuk anda menjadi seorang guru.
Awalnya, anda menangis. Karena anda tidak menemukan jalan tersebut. Lalu anda memohon kepada Tuhan, agar menunjukkan jalannya. Agar anda bisa memenuhi janji anda kepada orang tua anda. Agar anda bisa membahagiakan kekasih anda. Agar pengorbanan yang anda lakukan tidak sia-sia.
Untuk berminggu-minggu, setelah anda memohon hal tersebut kepada Yang Maha Kuasa, anda menyerah. Anda tetap tidak menemukan jalannya. Anda berusaha melamar dibeberapa sekolah dengan bekal S2 yang anda miliki. Tapi tetap, tidak ada yang bisa anda lakukan.
Anda menangis lagi. Anda merasa dipermainkan oleh Tuhan. Anda merasa semua yang anda lakukan adalah sia-sia. Anda menangisi akan jarak yang anda tempuh untuk datang ke tempat anda berada sekarang. Anda menangis karena janji anda kepada orangtua anda tidak terpenuhi. Anda menangis karena anda telah mengecewakan kekasih anda.
Saat anda memberitahu orang-orang yang anda sayangi bahwa anda telah gagal untuk waktu selama hampir 3 bulan, anda memutuskan untuk bekerja bukan sebagai guru. Anda berusaha mencukupi kebutuhan anda dengan menjadi tukang parkir, sales, penjual tiket kereta, bahkan menjadi penjual koran ditepi jalan. Anda meratapi nasib anda sendiri. Tapi anda bersyukur, karena anda masih kuat meratapi kenyataan anda menjadi orang yang putus asa dan orang yang miskin.
Anda tidak tahu mau dibawa kemana S2 anda itu. Anda tetap menjalani kehidupan anda dan pasrah. Namun, dikejauhan orangtua anda berdoa setiap malam kepada Tuhan agar anda berhasil. Agar anda bisa membanggakan mereka.
Untuk setiap malam, orangtua anda berdoa kepada Tuhan. Agar anak mereka, yaitu anda bisa hidup bahagia. Bisa berdiri sendiri dan tidak ditertawakan orang karena anda telah kalah dari permainan yang diberikan oleh-Nya.
Lalu, Tuhan dengan kasihnya membalas doa orangtua anda. Anda diterima menjadi guru disebuah SMA di kota yang anda tempati sekarang. Beribu-ribu terimakasih anda berikan kepada orangtua anda. Karena dengan doa mereka, anda berhasil mencapai cita-cita anda sebagai guru.
Itu adalah satu dari miliyaran cerita tentang pengalaman seseorang untuk menjadi seorang guru. Bayangkan jika anda adalah guru tersebut. Apa yang anda rasakan? Bangga. Puas. Dan bersyukur.
Dan sekarang, mari berandai anda adalah seorang murid. Murid yang dididik oleh seseorang yang telah diceritakan diatas. Namun anda, sebagai murid, tidak tahu menahu bagaimana perjuangan guru baru anda. Anda hanya menatap guru anda, anda berkata “ohh, guru baru.”
Tibalah disaat anda untuk pertama kalinya diajar oleh guru tersebut. Yang anda rasakan adalah kebosanan, rasa ngantuk dan ingin tidur. Pelajaran yang disampaikan oleh guru baru anda sangat-sangat membosankan. Dan anda membandingkan guru tersebut dengan guru yang lain. Anda berkata dalam hati anda, “apa sih yang diajarkan oleh bapak ini?”
Anda sangat menyepelekan pelajaran yang diajar oleh guru tersebut. Anda tidak pernah mengerjakan latihan atau mencatat apa yang disampaikan oleh guru tersebut. Setiap hari anda mengacuhkan guru anda. Berpura menghormati tapi dalam hati tertawa.
Lalu, saat waktu ulangan tiba, anda menyontek. Menyontek teman sebangku anda dan sesekali membuka buku cetak. Dan ketika anda mendapat nilai yang anda inginkan, hati anda belum juga tergerak untuk memahami apa yang anda dapatkan dari guru itu.

Apakah anda tahu? Iya. Anda tahu bagaimana perjuangan seorang guru untuk menjadi dirinya yang sekrang ini. Duri-duri tajam telah dilewati seorang guru. Namun, guru tersebut masih belum sadar bahwa perjuangannya belum usai. Perjuangannya masih panjang. Cita-citanya yang sebenarnya belum terwujud. Cita-cita untuk membuat pintar anak-anak didiknya dan membuat anak didiknya berhasil dalam menggapai cita-cita. Karena ia tahu, bagaimana payahnya ia dulu sebelum ia berhasil seperti sekarang.
Anda telah memposisikan diri anda menjadi seorang guru. Memposisikan diri anda dari seorang anak kecil hingga orang dewasa yang berhasil membanggakan orang tua. Tidak terlintas dipikiran anda bahwa ada satu orang murid yang mengacuhkan anda sebagai gurunya.
Mari kembali berandai bahwa anda adalah guru yang sedang mengoreksi ulangan murid-murid anda. Termasuk, murid yang tadi kita bicarakan. Saat anda melihat nama murid anda yang sebenarnya sangat tidak menghargai anda, anda sebagai guru baru yang polos dan belum mengenal murid tersebut, berpikir positif “sungguh rajin belajar anak ini…”
Jika anda, sebagai guru mengetahui apa yang ada didalam benak murid anda yang “kurang hajar” tersebut, apa yang anda lakukan? Jika anda sebagai murid yang “kurang hajar” tersebut, apa yang anda lakukan ketika anda tahu bagaimana jerih payahnya guru yang anda tidak sukai itu?
Murid tersebut tidak akan membayangkan hal tersebut. Ia hanya menyepelekan, mengasihi, dan berpura menghormati.
Ini hanya sebuah artikel tentang guru dan murid. Guru, yang seharusnya kita junjung tinggi keberadaanya, kini hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Guru yang kelak membuat kita berhasil menggapai keinginan kita, kini dipandang kecil oleh anak muridnya.
Kembali lagi ke murid. Apa yang anda lakukan jika anda mengetahui bagiamana kerasnya jalan yang harus ditempuh guru anda dahulu? Anda harus berpikir lebih jauh sebelum menyepelekan orang yang selama ini berdiri didepan dan memberikan hal yang paling berharga. Yaitu ilmu.

Sunday 17 October 2010

Don’t be a Childish, Sist :)

            “Kakak…” sapaku kepada cewek itu dan tersenyum. Tapi seperti biasa ia hanya menoleh, memandang sinis dan mungkin dalam pikirannya ia berkata “apaan sih? Sok kenal banget”
            Inilah kehidupan masa SMA ku. Maksudku, kehidupan SMA dimata seniorku. Ya, walau tidak semuanya menganggap begitu. Ada yang baik. Baiiiikkk banget. Gak pernah berpikir hal negatif tentang kami, anak-anak kelas satu. Namun, ada pula yang sebaliknya. Kau tahu maksudku kan?
            Aku ingat hari itu. dimana kami, anak-anak kelas X.7 yang mulai duluan. Sebenarnya, bukan mulai duluan sih. Kami terbawa suasana rame dan suasana penuh tantangan. Tantangannya tak lain dan tak bukan, mempermalukan diri kami sendiri. Seperti mencium pohon, memungut daun daun kering di lapangan sekolah, atau nyanyi-nyanyi sendiri dan biarkan semua orang yang melihat kami mengira kami orang gila.
            Hahaha. Tapi ini hanya untuk kalangan kelas kami saja. Untuk semua cewe anggota The Seventh. Tapi walau begitu, kami gak pernah kelewat batas kok. Kami tau batas kelas kami, dan batas kelas mereka, para senior. Dan kami sama sekali gak mengganggu mereka. Sama sekali tidak.
            “Dah, sekarang giliran aku lagi.” kataku.
            “Hahaha, bagusnya kita apain ya?”. Cewe-cewe itu tersenyum, dan Ila pun berkata.
            “Berani gak, salamin semua kakak kelas yang ada disana. Kakak kelas yang kamu kenal aja kok.”
            “Salam doang ya?”jawabku. Sedikit deg-deg-an sih. Tapi, mau gimana. Yang namanya tantangan mesti diterima.
            Dan akhirnya aku beranjak pergi kesana. Tanpa ragu dan takut. Mungkin sedikit deg-deg-an. Tapi so what? Salam doang kan gak salah?
            “kakak…”sapaku.
            Sekelompok kakak-kakak itu melihatku. Mereka sedikit bingung. Tapi aku tau kok mereka itu siapa. Aku kenal malah. Kenal cuma hanya sekedar tahu nama mereka. Dalam hati aku berdoa agar kakak-kakak ini gak mikir hal-hal yang negatif tentang diriku.
            “Ngapain kesini dek?”
            “Mau salam aja kak…”
            “Salam? Kenapa?”kata kakak yang disebelahnya. Ia menatapku sinis. Tapi tak kuhirau.
            “Mau salam aja kak. Gak boleh? Kakak kakak kan senior saya, jadi hormat saya, saya tunjukin sekarang kak.”jawabku tersenyum.
            Kakak kakak itu sepertinya tidak menerima jawabanku. Lalu Kak Tari berkata lagi.
            “Main apa sih dek disana?”
            “Jujur atau berani kak.”jawabku singkat.
            “Ohh, jadi sekarang adek pilih berani? Terus tantangannya salamin kami-kami? Gak deh dek, pulang sana.”
            Aku mencoba sabar. Aku tahu kok perasaan kakak ini. walau aku tidak tahu siapa namanya, tapi aku tahu perasaanya. Pasti ia kira ia dijadikan alat untuk memenuhi tantangan kami, para adek-adek kelas. Kulihat teman-temanku yang duduk dibawah pohon dan sedang mengamatiku. Aku tersenyum. Inilah yang namanya tantangan.
            “Oh, gitu ya kak. Baiklah. Kalau kakak-kakak tidak mau menerima penghormatan dari saya, saya pergi. Terima kasih kak, maaf sudah menganggu.” Aku pun pergi dengan muka sedih, tapi menahan senyum. Walau aku tak menoleh ke mereka sedikitpun, tapi aku tahu mereka sedang mengomeliku. Bilang sok kenal lah, atau sok manis, sok baik dan lain-lain. Huft. Sia-sia sudah. Hancurlah image-ku di mata gengnya kak Tari itu. 
            “Dek !”panggil seorang kakak kelas cowok yang berada di samping ring basket yang tidak jauh dari posisi gengnya kak Tari. Aku beranjak pergi ke cowok-cowok itu. Matilah! Kalau cewek mah gak apa-apa. Kalau cowok? Jantungku mulai berdetak kencang. Aku lirik kakak-kakak yang tidak menerima kehadiranku tadi. Mereka tersenyum puas. Aku makin tak bisa menahan rasa takutku sekarang. Bagaimana ini?
            “Ya kak?”tanyaku dengan nada sopan sambil melipat kedua tanganku didepan rok dan sedikit menunduk. Oh ya, jika kalian sedang dalam posisiku, jangan sampai kalian memelototi mereka. Karena itu sangat-sangat tidak sopan. Dan bisa-bisa kalian di sekak sama mereka.
            “Ngapain dek ke tempat kakak-kakak itu?”Tanya salah satu dari mereka.
            “Gak ada kak. Cuma mau salamin mereka aja. Tapi mereka gak mau.”jawabku dengan muka sedikit sedih. Kembali lagi pikiranku tentang olok-olokan mereka para kakak kelas yang tadi. Hancur sudah.
            “Lho, kenapa pula?”Tanya kakak disebelahnya.
            “Saya dan teman-teman saya sedang bermain jujur atau berani kak. Dan sekarang giliran saya untuk berani kak. Dan saya menerima tantangan teman-teman saya untuk menyalami kakak-kakak itu. Tapi nihil kak.”aku semakin menunduk dan diam.
            Kakak-kakak yang berjumlah lima orang itu mengangguk-ngangguk. Berpikir sejenak lalu lanjut lagi.
            “Ya udah, salamin kami aja.”kata Kak Rio.
            Sedikit terkejut memang. Kakak-kakak ini kenapa? Kok bertolak belakang banget sama kakak-kakak gengnya kak Tari itu? “Kakak-kakak ini gak keberatan?”tanyaku sedikit dengan nada ragu.
            “Ya enggak lah dek. Masa salamin kakak kelas salah sih? Malah itu wajar kali. Biar adek gak sedih aja. Biasa dek, cewek-cewek kelas sebelas emang gitu.”
            “Ohh. Gak kok kak. Adek maklumi mereka. Emang mereka aja yang gak mau diganggu.”
            Lalu akupun menyalami mereka satu persatu. Setelah kusimak, barulah aku sadar. Ada Kak Helmi disitu. Anak tante Rina, tetanggaku.
            “Yang sabar ya dek. Omongan mereka jangan dimasukin ke hati. Untuk jaga-jaga, gak usah main jujur atau berani dulu.”
            “Oke deh kak Helmi. Makasih ya kakak.”jawabku tersenyum.
            “Ya udah. Tuh guru kamu udah datang.”
            Akupun pergi dengan rasa puas. Tercapai sudah tantanganku.

            Dikelas, teman-temanku yang tak lain tak bukan adalah penyelenggara permainan itu, langsung menghampiriku.
            “Kakak-kakak kelas gengnya Kak Tari bilang apa? Aku sempat takut loh pas kamu diliatin sebegitu sadisnya sama mereka. Aku kira kamu mau dimakan.”kata Yaya.
            “Iya. Terus Kak Rio, Kak Helmi, Kak Jordi dan yang lain bilang apa? Aku kira kamu juga mau disekak juga sama mereka. Eh, malah kamu nyalamin mereka.”lanjut Diana.
            “Kalau gengnya Kak Rina itu, gak mau aku menyalami mereka. Aku ganggu mereka kayaknya. Aku juga sempat takut sih pas dipanggil sama Kak Rio. Eh, gak taunya ada Kak Helmi disitu. Mungkin mereka kasian kali sama aku. Jadi aku disuruh nyalami mereka karena aku gak bisa nyalami Kak Tari dan teman-temannya.”
           Mereka tersenyum lega. “Baguslah. So sweet banget ya Kak Helmi dan Kak Rio beserta gengnya itu. Baik banget mereka. Padahal cowok loh. Emang Kak Helmi kenal sama kamu ya?”Tanya Erika.
            “Iya. Kak Helmi itu tetangga aku. Mama aku sama mama dia lumayan deket. Tiap sore pasti tante Rina datang kerumah. Cuma, aku gak terlalu deket sama kak Helmi. Cuma sering tegur sapa aja.”
            “Ohh. Baik banget mereka… mau dong jadi kamu Ntan. Dikasihani sama gengnya Kak Rio yang hampir semuanya tuh ganteng-ganteng. Apalagi Kak Helmi.”lanjut Erika lagi.
           
            Perbincangan kami berakhir seketika Mam Lina datang. Iya sih, baik sekali Kak Helmi itu. Jujur, dulu saat kami satu sekolah pas SMP, aku suka banget sama dia. Dia emang terkenal baik, ramah, pinter, menarik lagi. Tapi aku minder banget seketika melihat mantan-mantannya yang secantik bidadari. Sejak aku minder itu, aku mulai lupain dia dan gak pernah keluar rumah lagi. Yang setiap sorenya selalu diteras, menunggu Kak Helmi pulang sekolah, sekarang selalu didepan komputer atau bermain gitar di dalam rumah.
            Jam istirahat pun tiba. Walau aku sudah menceritakan bagaimana salah seorang temannya Kak Tari mencegatku dengan tatapan membunuhnya, tapi aku dan teman-teman The Seventh sama sekali gak takut atau merasa segan untuk duduk dibawah pohon kesayangan kami. Tentunya, aku juga sudah menceritakan ke mereka apa yang dilarang Kak Helmi. Jadi kami gak mungkin bermain jujur atau berani lagi.
            Kami sibuk bercanda gurau dibawah pohon itu. apalai karena ada Siti. Cewek paling kocak dikelas. Namun aku berpisah dengan mereka saat kulihat Sam bermain gitar sendiri dibangku belakang ring basket.
            “Sam, pinjem gitarnya dong…”
            “Yaaahh. Eh, ini nih. Aku kok tiba-tiba mau pipis yah? Nih, mainlah. Aku mau ke toilet.”
            “Oke deh.”
            Aku pun bermain gitar sambil menyanyikan lagu yang ku buat sendiri.
            “…aku tahu aku dibawahmu, tapi aku tak bodoh dan keji seperti dirimu yang memakiku dengan mulut pedasmu…”
            “HEH!”
            Aku terkejut. Tak kusadari gengnya Kak Tari yang lewat didepanku. Bersama kakak yang sadis itu. Kulihat papan nama di baju kakak sadis itu. Ohhh, Cindy toh namanya…
            “Bilang apa kamu??! Kamu nyindir saya hah?”Tanya Kakak yang bernama Cindy itu.
            Aku bingung. Salah apa aku?
            “Mak..maksud kakak?”tanyaku benar-benar tidak mengerti.
            “Kamu nyindir saya kan?? Jadi kamu langsung buat lagu lah ya setelah saya maki-maki kamu tadi. Bagus banget kamu. Jadi kayak gini ya sikap kamu hah ?? Heh adek, kamu tuh baru disini. Baru kelas satu. Mana?? Katanya kamu hormat sama kita-kita kakak kelasmu, eh gak taunya baru disuruh pergi aja udah langsung buat lagu kamu.”
            Kulihat tatapan sinisnya. Tapi hanya tiga detik. Kakak ini memang benar-benar membunuhku. Salah aku apa sih? Perasaan, lagu tadi gak aku nyanyiin buat dia deh. Salah paham nih kayaknya.
            “Lagu tadi bukan buat kakak kak. Bener. Itu memang lagu buatan saya sendiri, tapi bukan buat kakak…”
            “Alaaaahh, alasan kamu dek. Kamu gak suka sama saya? Eh, asal kamu tau ya, cara kamu minta kami nyalamin kamu tuh norak! Norak banget! Ini tuh SMA, bukan SD lagi. ihh, sengak banget sih kamu dek!”
            Aku diam. Geram. Merasa benar-benar dipermalukan di depan teman-temanku. Kutunjukkan sikap marahku padanya. Tapi tetap saja kalah. Ada Kak Tari disitu. Ia juga sepertinya tidak senang melihatku.
            “Kami salah apa sih dek? Jangan gitu dong. Kamu tuh baru kelas satu disini, eh gaya kamu udah selangit melebihi kami. Sombong banget sih kamu dek.”lanjut kakak yang dari tadi berada disampingku.
            Aku menunduk. Diam dan geram. Kegeeran banget sih kakak-kakak ini? namun aku masih menahan amarahku dan mencoba sabar.
            “Kamu pikir kamu hebat karena dibela sama gengnya Rio??? Amit-amit! Kalau bukan karena mereka kasihan, pasti gak bakal mereka kayak gitu!”lanjut kak Tari.
            Oh. Aku tahu sekarang sebabnya apa. Aku berdiri menghadap Kak Cindy. Dengan mencoba bersikap tenang dan sedikit tersenyum, aku melawan.
            “Lagu itu bukan buat kakak. Itu lagu buatan saya untuk mantan saya. Saya sama sekali gak menyinggung kakak, atau merasa tidak suka dengan kakak. Apalagi, kakak itu kakak kelas saya. Mungkin saya yang seharusnya bertanya, apa salah saya? Saya sudah minta maaf kan karena telah mengganggu kakak tadi?”
            “Alah, banyak bacot kamu dek. Melawan banget sih kamu !”jawabnya.
            “Terserah kakak mau bilang apa. Saya hanya membela diri saya yang sebenarnya tidak bersalah apa-apa.”
            “Kita pergi aja lah Cin. Muak lama-lama disini.”lanjut kak Tari. Mereka pun pergi.

            Ada apa Ntan? Mereka ngapain? Kok tiba-tiba marahin kamu?”Siti menghampiriku, bersama teman-teman yang lain. kami sedang didalam kelas sekarang. Karena aku tahu, sangat fatal jika aku membicarakan kakak-kakak itu diluar kelas. Bisa kena damprat lagi deh.
            “Kakak-kakak itu kegeeran. Aku buat lagu buat mantan, ada kata-kata yang tidak mengenakkan gitu. Tapi mereka kira itu buat mereka. Aku bahkan taksadar mereka lewat didepanku.”
            “Hah? Ihhh… kegeeran banget sih mereka? Lagian, mereka siapa coba? Penting apa sampai-sampai kamu buatin lagu buat mereka? Ihh…”lanjut Diana.
            “Iya. Aku malah bingung banget. Salah apa aku? Dituduh yang enggak-enggak. Aku sempat geram sih. Agak sedikit benci sama mereka karena udah nuduh yang tidak-tidak, tapi aku bisa apa? Aku sendiri disana. Mereka semua mencegatku. Sumpah, maluuuuuu banget!”kataku sambil menahan tangis.
            “Udah Ntan, gak apa-apa. Karma berjalan kok. Biarin aja mereka berbuat semau mereka. Entar juga ada balasannya. Ihh, kegeeran banget sih mereka.”Siti menasihati aku lagi.
            Aku duduk. Meratapi nasib aku. Sial banget sih aku. Salah apa coba aku? Hanya karena kesalahan dikit aja, aku diginiin sama kakak-kakak kelas. Bukan sedih atau apa. Cuma kecewa. Sebegitu besarnya dosaku pada mereka? Ya Tuhan, cobaan apa ini? Hilangkanlah perasaan buruk mereka terhadapku.

            Esoknya, aku mencoba melupakan hal itu. walau akhirnya tidak bisa. Aku dihibur dengan teman-teman The Seventh. Mereka emang baik.
            Jam istirahat kami semua berada dikantin. Kulihat disebuah meja. gengnya Kak Tari ada disitu. Aku sempat gugup, lalu Erika memegang tanganku.
            “Santai aja lagi. tunjukin kalau kita gak takut sama mereka.”
            Entah kenapa, tapi aku merasa bukan gengnya Kak Tari saja yang memelototiku. Tapi hampir semua kakak kelas sebelas yang duduk dihadapan kami. Iya. Memang benar. Mereka manatapku sinis. Semuanya.
            Aku hanya diam. Mencoba tertawa dan menghabiskan sarapanku. Kulihat kakak-kakak itu pergi. Kak Cindy, cewek paling ganas disana, memelototiku. Aku tahu ia mengatakan apa. Aku bisa membaca bibirnya. “Isss, geng norak”katanya.
            Aku mencoba untuk berpikir positif. Dan setiap kali kuingat nama Tuhan dan berpikir positif, aku memang merasa lebih baik. Tak kuhirau tatapan-tatapan yang menghunus tubuhku itu. aku berusaha bersikap santai sebisa mungkin yang aku mampu.
            Dan aku benar. Aku telah melupakan kejadian buruk dengan mereka para seniorku itu. Karena The Seventh tentunya.  Saat ku di mushola, kulihat gengnya Kak Helmi disana sedang mengobrol di teras mushola sekolah. Aku bersama Ririn, menghampiri mereka.
            “Kakak…”sapaku.
            “Iya adek. Eh, kakak mau ngomong sebentar deh.”kata Kak Helmi.
            Ia menarik tanganku dan membawaku kebelakang mushola. Ada apa nih?
            “Kemaren adek diancam ya sama Kak Cindy?”
            Aku diam. Gak baik sih buat bohong. Apa lagi ini mushola. Tapi, emang begitu kenyataannya. Aku berpikir lagi. Bakal fatal kalu aku ngomong yang jelek-jelek tentang mereka. Huft.
            “Hmm, enggak terlalu kok kak. Kenapa kak?”
            “Jujur dek. Kakak denger aja dari teman-teman kakak. Kakak kan sekelas sama Kak Cindy. Gosipnya, adek tuh buat lagu tentang kejelekan mereka. terus mereka marah.”
            “Hah? Ya ampun. Bukan begitu kak. Adek emang buat lagu. Dan lagu itu ada kata-kata yang tidak pantas juga. Cuma lagunya bukan buat mereka kok. Mereka aja yang sedikit…”
            “Kegeeran?”
            Oops! Matilah. Omonganku ini benar atau salah ya? Tuhan, lindungi aku…
            “Hmm, begitulah.”jawabku pendek dengan sedikit menunduk. Rasa bersalah menghantuiku.
            Kak Helmi yang bertubuh tinggi dan sedikit jangkung itu menepuk pundakku. “Maklumi mereka aja ya dek. Mereka emang begitu, sensitive. Dan jujur, kakak juga gak suka kok sama mereka. kakak udah kenal mereka gimana. Sabar aja ya dek.”
            “Hmm, iya kak. Adek masuk mushola duluan ya kak…”
            Kakak itu tersenyum dan membiarkanku pergi.

            Sepulang sekolah, bersedih lagi. kak Helmi tadi ngapain ya? Aku lihat sepulang sekolah tadi Kak Helmi dan Kak Tari beserta gengnya mengobrol di bawah pohon dekat dengan kelas mereka. Aduh. Apa gara-gara aku ya?
            Aku menunggu jemputanku bersama Erika. Kami mengobrol tentang Kak Helmi dan apa yang diucapkannya padaku di mushola.
            “Ya ampun Ntan, baik banget sih diaaaaa… Mau dong jadi pacarnyaa…”
            “Mau? Ambil noh. Dia jomblo kok.”
            “Hah? Iya? Masa sih cowok sekeren dia jomblo? Ganteng, baik, selalu masuk tiga besar di kelas IPA, lumayan tajir lagi.”
            “Tanya dong sama dia kenapa bisa jomblo. Ckckck”
            Eh, yang sedang diomongin menghampiri kami. Ia berjalan bersama Kak Tari, Kak Cindy, dan tiga orang kakak kelas yang lain.
            “Bilang cepet!”bentak Kak Helmi.
            Aku dan Erika kaget. “Eh, ada apa ini kak?”tanyaku.
            Kak Cindy jengkel. Aku bisa lihat dari mukanya.
            “Maafkan kami dek.”kata Kak Tari.
            “Kami??! Pribadi dong minta maafnya!”Bentak kak helmi lagi.
            “Maaf dek!”lanjut kak Cindy sambil berdiri dan memalingkan muka.
            “Yang ikhlas!!”bentak Kak Helmi lagi. Erika sedikit tertawa. Kak Cindy lalu melihat mataku dan sedikit tersenyum. “Maaf dek…”
            “Maaf kenapa kak?”Tanya Erika.
            “Bukan sama kamu dek! Tapi sama temanmu ini!”kata Kak Cindy dengan nada sedikit geram.
            Erika terdiam. Aku kecewa lagi.”Yang sopan dong kak. Jangan sembarangan bentak teman saya. Saya tahu, kami ini cuma adek kelas kakak. Tapi hargain kami juga dong kak. Kami juga manusia. Sakit tahu kak digituin. Sudah lah kak Helmi. Kalau kakak-kakak ini tidak mau minta maaf, gak usah dipaksa. Gak enak kaminya. Entar, kami dibilang sok berkuasa, atau yang lain. lagian, kami udah maafin mereka kok.”luapan hatiku pun keluar juga. Kak Cindy dan Kak Tari diam. Aku bisa lihat mereka masih tidak senang dengan pembelaan Kak Helmi terhadapku.
            “Tuh, denger kan kata Intan??? Kalian tuh harusnya malu! Kalian tuh kakak kelas. Bukan kepala sekolah!! Seenaknya aja berbuat yang semena-mena sama adek kelas. Malu dong!! Dasar diktator! Apalagi kamu Cin. Aku gak nyangka kamu sejahat itu sama mereka. Hargain orang dong! Walau mereka kecil dan rendah, tapi ternyata mereka gak kanak-kanak kayak kalian!”
            Aku kagum sekali dengan Kak Helmi saat itu. Barulah aku sadar, kalau Kak Tari dan kakak-kakak yang lain benar-benar merasa bersalah. Mereka semua tertunduk lemas. Aku sedikit kasihan dengan mereka. namun sepertinya Erika menahanku untuk bertindak kasihan.
            “Sudahlah kak. Jangan terlalu dibesar-besarkan. Jangan menyalahkan mereka. Adek terima kok.”
            “Gak bisa dek. Asal adek tau aja, ini bukan yang pertama kalinya mereka sekak adek kelas. Sok berkuasa banget sih kalian!! Intan itu gak salah apa-apa. Segitunya banget sih.”Kak Helmi terlihat marah. Baru kali ini aku lihat kemarahannya itu. Walau kemarahannya itu ditujukan untuk berbuat baik.
            “Iya Hel, kami mengaku salah. Kami kan udah minta maaf…”kata Kak Tari.
            “Emang kalian terima permintaan maaf Intan tadi hah ??! Gak tau diri kalian tuh. Udah lah, sana pergi. Muak liat muka kalian tuh. Cewek-cewek kejam.”
            Mereka pun pergi. Tapi kali ini berbeda. Mereka pergi tanpa mengomel sendiri atau memandangku dengan muka sinis. Tapi aku bersyukur. Karena mereka mengakui kesalahan mereka.
            “Kakak jangan jahat gitu dong. Kasihan tau kak.”kataku.
            “Ya ampun Ntan. Malah kakak-kakak itu mesti digituin. Biar mereka tau diri, ya kan kak?”jawab Erika.
            “Haha. Iya dek. Benar. Hmm, asal kalian berdua tahu ya. Kakak dan geng kakak beserta beberapa orang yang lain, adalah persatuan penegak keadilan disekolah ini. Hmm, tapi ini rahasia loh dek. Jangan bilang siapa-siapa ya dek.”
            “Siap kak!”jawab kami serentak.
            “Hmm, Intan gak pulang? Pulang sama kakak aja deh.”lanjut Kak Helmi lagi.
            “Tapi Erika…”
            “Eh, aku udah dijemput Ntan. Udah, kamu pulang sama Kak Helmi aja tuh. Aku udah sms papa kamu loh, jangan jemput kamu. Karena aku tahu endingnya bakal kayak gini. Hehehe. Pulang dulu ya Kak Helmi…”
            Erika sialan! Mau gak mau deh. Tapi seneng juga sih. Pulang sekolah dibonceng sama kakak keren disekolah. Terkeren malah. Senengnyaaa…