Saturday 22 January 2011

Divo

Ia meraung-raung lagi. Aku sungguh membencinya jika ia seperti itu. Namun apa yang bisa aku lakukan untuk menyembuhkannya?
            Aku nggak beraharap ia akan sembuh atau apa. Aku hanya ingin ia tahu, bahwa aku ada disini, menunggunya sampai kapan pun.
            Kali ini ia memecahkan gelas lagi. Ku intip dirinya dari jendela. Bi Sumi mengatakan bahwa ia baru saja bangun dari tidurnya. Mungkin mimpi buruk, pikirku.
            Dokter masuk ke kamar. Bi Sumi dan beberapa pembantu yang lain memegang tubuhnya yang tak bisa berhenti bergerak mengacak-acak tempat tidur ataupun berusaha mengambil sesuatu untuk di lempar. Lalu sebuah jarum suntik ditusukkan ke dalam dagingnya. Ia pun perlahan diam.
            Sebenarnya aku tak kuat melihatnya seperti ini. Tapi inilah dia. Greta Angelina yang aku kenal. Yang aku kenal sebagai sesosok wanita yang periang, penuh canda tawa, dan sehat. Walaupun sekarang ia mulai berubah.
            Aku hanya sekedar datang untuk melihatnya dari jendela. Mereka, para sepupu Greta tidak mengijinkanku masuk. Mereka takut aku akan dilukainya.
            Kecantikannya masih tampak olehku. Kini ia tertidur pulas. Sesekali ia melihatku dari balik jendela. Namun ia tak bereaksi saat ku lambaikan tanganku padanya.
           Kulihat matanya yang bengkak. Sepertinya tadi malam ia menangis hebat. Aku lebih suka begini. Diam, tenang, dan matanya tertutup rapat. Dari pada ia bangun, berteriak, melempar segala sesuatu yang ada, dan melihat kenyataan. Setelah puas melihat parasnya yang mirip seperti malaikat, aku beranjak pulang.
            Esok sorenya, aku kembali lagi. Namun kali ini berbeda. Ia sedang duduk di sebuah kursi di teras rumahnya. Dengan dua orang bodyguard yang berdiri di belakangnya. Mungkin hanya sekedar menjaganya.
            Kali ini aku yakin, ia tak akan melukaiku. Setelah meminta ijin pada Bi Sumi untuk mendekatinya, aku pun mendekat. Walaupun awalnya Bi Sumi tak mengijinkanku. Tapi aku berusaha membuatnya percaya bahwa Greta takkan melukaiku.
            Ia masih bungkam. Dan aku mengerti sekali perasaannya. Aku lalu duduk di dekatnya. Ia masih bergeming. Tak menoleh padaku sama sekali.
            Kelakuannya akhir-akhir ini sama sekali tak membuatku takut. Bahkan aku mencoba  berkali-kali untuk dekat dengannya. Dan kali ini aku bisa tersenyum puas sepertinya.
            Kuletakkan bunga lily yang sedari tadi aku genggam tepat di sebelahnya. Bagaimana pun juga, demi keamanan, aku diharuskan duduk berjarak 70cm darinya.
            Ia menoleh sejenak. Saat ia memandangku penuh arti, aku tersenyum. Aku harap, dengan kehadiranku disini, ia bisa sepenuhnya melupakan alasan kenapa ia menangis setiap malam.
            Dan terimakasih Tuhan. Ia akhirnya tersenyum padaku! Sudah lama sekali aku merindukan senyuman itu. Dan ia juga mengambil bunga liliku.
            Aku balas tersenyum. “Terimakasih.”kataku.
            “Aku…”
            Untuk pertama kalinya akhirnya ia berbicara. Senyumanku semakin mengembang. Walaupun cuma satu kata, tapi aku bahagia sekali. Greta, akhirnya kamu ngomong juga, sayang!
            Aku memberi isyarat pada kedua bodyguard yang dari tadi  bengong memperhatikan kami untuk menjauh. Dan mereka setuju.
            Namun sepertinya Greta berhenti berbicara. Ku dekatkan diriku dengannya. Tatapanku penuh arti, berharap agar ia melanjutkan kata-katanya.
           Ia menunduk. Dicabutnya satu persatu bunga lily dari batangnya dan dilemparkannya bunga itu. Dan ternyata, ia kembali lagi menjadi Greta yang liar, galak, dan nggak normal. Ia menginjak-nginjak bunga lilyku dan meraung-raung. Seperti marah, kesal, kecewa, dan sangat-sangat menderita.
            Mereka menyuruhku untuk menjauh. Aku menurut. Ku lihat gerakan-gerakan Greta yang semakin membabi buta. Dan kejamnya, mereka harus merantai tangannya agar ia diam dan tak bergerak.
            “JANGAN!!!”teriakku.
            Namun mereka memaksa. Mereka tetap merantai dan dokter tetap menyuntikkan obat penenang pada Greta. Namun sepertinya tak cukup sekali, dokter mengambil jarum suntik yang super besar. Greta semakin meraung. Bi sumi yang sedari tadi berdiri tak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan sodara-sodara Greta membiarkan Greta di sakiti.
            Aku memberontak. Ku cegat tangan dokter itu dan melempar suntikkannya.
            “Jangan coba-coba sakiti DIA!!!”
            “Tapi…”
           Brruk! Sebuah kepalan tangan mendarat tepat di pipi kananku. Seorang bodyguard memukuliku. Aku terhuyung-huyung. Greta semakin menjerit. Mereka tetap memaksa Greta. Tentu saja Greta kalah. Namun ia masih meraung-raung dan menangis. Aku semakin tak menerima ketika seorang bodyguard mencoba untuk merantai tangannya dan memplaster mulutnya.
            “BANGSAT!!!”
            Brukk!! Aku kembali melawan. Tentu saja aku tak bisa membiarkan wanita kesayanganku disakiti seperti itu.
            “LO GAK KASIHAN APA SAMA DIA?! MANA NURANI LO HAH?!! DIA TUH MANUSIA, BUKAN HEWAN!!! DIA TUH SAKIT, LO TAU KAN?!”
            Aku mendekat ke arah Greta dan tak peduli dengan bodyguard yang ku serang tadi. Greta menutup wajahnya rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Aku memegang erat kedua lengannya.
            “Greta, sabar sayang, kamu pasti sembuh. Kamu harus yakin. Aku akan menjaga kamu. Kamu nggak perlu khawatir sayang, aku akan tetap menjaga kamu. Sekarang dan selamanya.”
            Tak ku sadari aku turut menangis juga. Greta memandangiku lekat-lekat. Aku tahu sekali arti pandangannya itu. Dan ia memegangi kedua pipiku membiarkan air matanya berjatuhan deras. Lalu ia berbisik sesuatu padaku. Kata-kata yang sangat membahagiakan dalam hidupku disaat-saat seperti ini.
            “Aku percaya kamu. Jangan tinggalin aku seperti mereka.”
            Aku tersenyum gembira sekali. Ku hapus air matanya dan mengecup keningnya.
            “Pasti. Pasti Greta. Aku pasti ada untuk kamu, kamu yang sabar ya sayang…”
            Dokter dan dua bodyguard itu diam. Mereka terhanyut dan terharu. Begitu pula dengan Bi Sumi, dan tiga orang sepupu Greta. Mereka menangis ikut merasakan gembira.
            Ku peluk dirinya dengan kuat. Namun ia masih menangis. Dan hari itu, adalah awal dari semuanya. Aku yakin ia pasti kembali ke Greta yang ku kenal dulu. Dan walaupun ia seperti ini, aku janji rasa yangku pastu tidak akan berubah. Aku, Divo Matahari, berjanji tidak akan meninggalkannya sendiri.
            Berita koran, 1 Januari 2010.
            Kecelakaan keluarga di simpang Sudarno
            Surabaya. Sebuah keluarga terdiri dari 4 anggota meninggal di tempat dalam sebuah kecelakaan hebat yang terjadi semalam pukul 4.15 WIB di perempatan Jl.Sudarmo. Diketahui keluarga tersebut sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah. Mobil Avanza dengan plat bernomorB 56 JKL tersebut di tabrak oleh sebuah truk besar yang hendak mengantar pasir ke sebuah pabrik. Di duga kesalahan berasal dari supir truk yang mengantuk. Kecelakaan tersebut memakan 4 korban dan supir truk tersebut di duga melarikan diri. Keluarga tersebut meninggalkan seorang anak yang bernama Greta Angelina. Empat korban tersebut adalah Rahmat Rubri (ayah), Diana Retra (ibu), Gilang Darma (abang) dan Hilda farni (adik).

No comments: