Wednesday 20 April 2011

Miris

Café Hot Tea ini sudah ramai pengunjung sejak sejam yang lalu karena hujan lebat yang belum juga berhenti. Anggi yang saat itu kedinginan di luar, membuka payungnya dan masuk ke dalam. Ia tersenyum melihat seorang lelaki yang baru dikenalnya tiga tahun ini tapi sudah akrab sekali dengan dirinya. Bagaikan kakak adik.

“Hai, Fan!”sapanya sambil mendekati meja Fandi.

Fandi menoleh. “Hai juga, Nggi.”

Anggi mengambil tempat duduk di depan Fandi. “Dingin banget di luar. Udah hujan, angin kencan lagi. Padahal tadi aku mau ke pantai. Brrr.”Anggi mengusap-usap telapak tangannya.

“Dingin ya? Ini, pakai jaketku.”Fandi membuka jaketnya dan menyodorkannya pada Anggi.

Anggi menerimanya dengan senang hati, lalu dipakainya jaket kulit cokelat itu. “Heh? Makasih ya. Hmm, hangat!”

“Sama-sama.”

Anggi merasakan sesuatu yang aneh. Wajah Fandi terlihat murung sekali. “Kok lesu gitu? Sakit? Ini, kamu aja deh yang pakai jaketnya. Aku jadi ngak enak.”Anggi mulai membuka jaketnya. Tapi tidak jadi karena Fandi mencegah.

“Eh, bukan. Aku nggak sakit kok.”

Seorang pelayan datang sambil membawakan daftar menu. Setelah Anggi memesan teh lemon panas, pelayan itu pergi. Anggi melihat cangkir Fandi yang sudah kosong. Sepertinya Fandi sudah lama berada disini.

“Jadi? Hmm, kamu lagi galau ya?”Anggi mulai membuka percakapan.

“Hm. Mungkin.”

Anggi teringat pacar Fandi. “Oh, ada masalah sama Reisa?”

Fandi menggeleng.“Tidak ada.”

Anggi mengernyit. “Lalu?”

“Aku mengingat Efraim.”katanya datar.

Mengerti perasaan Fandi, Anggi cepat-cepat minta maaf. “Oh, maaf. Aku tidak tahu.”

Fandi tersenyum sedikit. “Tidak apa-apa.”

Hening sesaat sebelum akhirnya Anggi bertanya hal yang konyol. “Hmm, Efraim itu, baik ya?”

“Lebih dari baik. Sahabat satu-satunya yang aku punya.”

Anggi mengingat pemakaman Efraim satu bulan yang lalu. Dan ia ingat mata Fandi yang sempat sembab saat Anggi ke rumahnya. “Kamu bisa cerita ke aku tentang Efraim kalau kamu mau.”

“Kamu tidak keberatan?”

Anggi tersenyum. “Tentu saja tidak. Silahkan.”

Fandi membiarkan pelayan menaruh lemon tea panas dihadapan Anggi sebelum melanjutkan perkataannya. “Aku, kenal Efraim sejak lima belas tahun yang lalu.”

“Wow. Kalian tetanggaan?”Anggi meniup-niup teh panasnya.

“Ya, bisa dibilang begitu. Sejak itu kami selalu satu sekolah. Sampai sekarang.”mata Fandi menerawang ke jendela luar café. Masih hujan dan angin masih juga kencang.

“Oh, lalu? Apa kenangan yang paling berkesan darinya?”

“Hm, dia memberikanku kesempatan untuk mencintai orang yang paling dicintainya.”

Anggi membelalak. “Reisa?”

“Ya.”

Anggi baru tau. Lalu ia sembunyikan rasa terkejutnya. Ingin tahu, ia bertanya lebih dalam lagi. “Kenapa dia berikan Reisa padamu?”

“Menurutnya, aku orang terbaik untuk Reisa.”

Melihat wajah Fandi yang semakin murung, Anggi mencari-cari celah untuk menghibur Fandi. “Memangnya, dia kenal Reisa darimana?”

Melihat Anggi yang kepanasan karena tehnya, Fandi tersenyum. “Kami bersekolah di SMP yang sama. Lalu, kami bertiga jadi sahabat.”

“Hm, lalu, apakah kamu dengan begitu saja menerima tawarannya untuk mencintai Reisa?”Anggi mengambil bungkusan gula dan membukanya.

“Tentu saja tidak.”

“Bagaimana dengan Reisa?”

“Dia juga awalnya menolak.”

Sedih sekali, pikir Anggi. “Lalu kenapa kalian bisa pacaran?”Anggi mengaduk-aduk tehnya.

“Karena kami sudah berjanji.”

“Di depan Efraim?”

“Ya.”

“Disaat-saat terakhirnya?”

“Ya.”
Anggi terdiam lagi. Sungguh sulit untuk berada di posisi Fandi disaat detik terakhir sahabatnya pergi. Lalu sebuah pertanyaan muncul di benaknya.“Apakah kamu mencintai Reisa?”

Fandi diam. Lalu berpaling ke mata Anggi yang penuh rasa ingin tahu. Dan dengan tegas berkata “Tidak.” Lalu meminum tehnya yang sudah dingin.

“Bagaimana dengan Reisa?”

“Dia juga tidak bisa mencintaiku.”

Anggi jadi mengerti perasaan mereka. “Demi Efraim, kalian rela berpacaran tanpa saling mencintai dan bahagia.”

Fandi melihat ke luar jendela lagi. “Asal Efraim bahagia, itu sudah cukup membahagiakanku.”

Anggi mengaduk-ngaduk teh hangatnya. “Aku rasa, Efraim tidak bahagia.”

Fandi berpaling. “Kenapa?”

“Kamu bahagia jika melihat Efraim bahagia. Menurutku, Efraim juga akan bahagia jika melihat kamu bahagia. Dan orang yang dicintainya juga bahagia.”
“Tapi itu permintaannya.”pikiran Fandi pergi ke hari kematian sahabatnya lagi. Perasaan sedih dan kecewa datang lagi.

“Tapi kalian tidak bahagia. Terkurung dalam janji mati.”

Fandi menghembuskan nafas kecewa. Itu memang benar. “Lalu aku harus bagaimana?”

“Aku rasa, Efraim akan bahagia melihatmu bahagia dengan caramu sendiri. Hanya kamu yang tahu bagaimana caranya.”

“Bagaimana dengan Reisa?”

“Kamu tadi bilang dia tidak bahagia bersamamu.”

“Tapi aku nggak mungkin membiarkannya sendirian.”Fandi merasa bersalah.

Anggi mencoba meyakinkan. “Kalian tetap sahabatan kan?”

“Tapi…”

“Aku tidak menyuruh kamu tidak menepati janjimu. Tapi berpikirlah lebih jauh. Aku rasa Efraim sudah menyesal disana.”

“Kamu tidak tahu rasanya kehilangan.”

Anggi memegang tangan Fandi yang dingin dan menatap matanya. Berusaha menghiburnya, Anggi berkata, “Ya, aku memang tidak tahu. Tapi aku mengerti.”

Fandi melihat telapak tangan Anggi yang melingkari tangannya dan tersenyum. “Mungkin kamu benar.”

“Reisa masih mencintai Efraim bukan? Dimana-mana, kalau wanita dipaksakan mencintai orang lain, apalagi karena janji, dia pasti sakit hati. Pikir di kedua pihak, kamu dan Efraim. Kalian akan bahagia jika saling bahagia. Dia bahagia melihatmu bahagia dengan orang yang kamu cinta, dan pasti juga bahagia melihat Reisa tidak sakit karena harus terpaksa mencintai kamu. Biarkan Reisa terus mencintai Efraim.”Anggi tersenyum.

Mendengar perkataan Anggi, Fandi mulai berubah pikiran. Tiba-tiba saja Fandi menunduk.“Tapi sebenarnya ada masalah lain.”

Anggi melepaskan genggamannya. “Apa?”

“Aku mencintai orang yang salah.”

Anggi meminum tehnya. “Kenapa harus salah?”

“Dia sudah termiliki.”lirih Fandi.

Anggi melihat kekecewaan di mata Fandi. “Sayang sekali. Tapi mencintai seseorang tidak pernah salah. Kalau begitu tunggu saja.”

“Sampai kapan? Aku tidak mau punya harapan semu.”

“Kalau begitu, biarkan dia tahu kamu mencintainya.”

Fandi tersentak. “Untuk apa?”

“Memangnya mencintai harus memiliki?”

Fandi menggeleng lemah. “Aku nggak tahu.” Dia menunduk lagi.

“Mencintai nggak harus memiliki, Fan. Cukup mengungkapkan perasaan kamu dengan orang yang kamu cintai, sudah sedikit membahagiakan dirimu sendiri. Walau itu mungkin nggak akan mengubah apa-apa, tapi kelegaan tersendiri bisa jujur dengan diri sendiri dan dengan orang yang kamu cintai.”

“Lalu setelah itu aku harus bagaimana?”

Life must go on. Seperti kamu dan Efraim, kamu harus bahagia melihat orang yang kamu cintai bahagia.”

Fandi menoleh ke mata Anggi. Anggipun begitu. “Cinta itu butuh pengorbanan, Fan.”lanjut Anggi lagi.

Fandi tersenyum. “Sepertinya aku mencintai orang yang benar.”

“Loh, kenapa berubah pikiran?”Anggi bingung.

“Karena dia sudah lebih dulu mengubah pikiranku.”Fandi tersenyum penuh makna ke arah Anggi.

Anggi benar-benar tak mengerti dan penasaran. “Memangnya kamu mencintai siapa?”

“Hai, Anggi.”sesosok pria dengan sweater biru dan celana panjang hitam menghampirinya sambil tersenyum.

“Oh, hai sayang.”Anggi balas tersenyum lalu mempersilahkan pacarnya duduk di sebelahnya.

“Sudah lama menunggu?”Tanya Doni, pacar Anggi.

“Tidak juga. Untung ada Fandi disini.”

Doni tersenyum kea rah Fandi. “Makasih ya, Fan.”

“Sama-sama, Don.”

“Hmm, hujannya udah reda loh, Nggi.”lanjut Doni lagi.

Anggi lalu dengan cepat menghabiskan tehnya. “Oh iya. Aku sampai lupa waktu. Ya sudah. Fandi, aku pergi dulu ya. Jangan kelamaan disini loh. Tapi kalau mau melihat-lihat cewek cakep sih nggak apa-apa. Haha.”Anggi dan Doni berdiri.

Fandi ikut tertawa. “Anggi?”panggilnya lagi.

Anggi berhenti berjalan lalu menoleh ke arah Fandi “Ya?”

“Aku rasa kamu benar. Aku harus menunggu.”Fandi tersenyum.

Anggi tersenyum ramah. “Bye bye Fandi.”Anggi melambai ke arahnya.

“Mengangumi tanpa dicintai.”lirih Fandi melihat kepergian Anggi yang tersenyum dengan pacarnya Doni sambil berlari-lari kecil menuju mobil mereka.

Lalu Fandi mengambil handphonenya dan menekan sebuah nomor handphone.

“Reisa, aku rasa kamu lebih bahagia untuk terus mencintai Efraim. Bisakah kita menjadi sahabat saja? Aku sudah tahu aku mencintai siapa sekarang. ”lalu Fandi tersenyum melihat Anggi yang melambai ke arahnya sebelum masuk ke mobil.

No comments: